Kebudayaan
Hindu Dan Budha
Teori
Masuknya Agama dan Kebudayaan Islam di Indonesia
Disusun untuk
Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Ilmu Pengetahuan Sosial
Dosen
Pengampu: RIZKI ANANDA, M.Pd.
Nama : PERTIWI KURNIA
Nim : 1686206077
PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
SEKOLAH TINGGI
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PAHLAWAN TUANKU
TAMBUSAI
2016
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Indonesia adalah bangsa
yang majemuk, terkenal dengan keanekaragaman dan keunikannya. Terdiri dari
berbagai suku bangsa, yang mendiami belasan ribu pulau yang tidak terlepas dari
pengaruh budaya luar, salah satunya pengaruh budaya India. Kebudayaan India
masuk ke Indonesia pada saat Indonesia masih mengalami masa pra-sejarah.
Masuknya kebudayaan India ini sekaligus menandai berakhirnya masa pra-sejarah
dan mulai membawa bangsa Indonesia ke jaman sejarah, karena sejak saat
itu bangsa kita mulai mengenal tulisan. Pengaruh hindu-budha ini dapat terlihat
dari berbagai macam peninggalan-peninggalan yang tersebar hampir disetiap
pulau-pulau di Indonesia yang kini menjadi kebanggaan tersendiri bagi
bangsa ini yang berasal dari berbagai kerajaan Hindu-Budha yang merupakan cikal
bakal terbentuknya bangsa ini. Dengan hadirnya kebudayaan India di Indonesia
banyak sekali aspek yang dipengaruhinya antara lain seni, agama, tradisi,
bangunan dan lain-lain. Sebagai generasi penerus bangsa pertama kita wajib
mengetahui sejarah bangsa ini. Sehingga penyusun merasa perlu untuk menyusun
artikel ini agar dapat membantu dan memudahkan pembaca untuk mengetahui sejarah
dan pengaruh kebudayaan India di Indonesi
B.
Rumusan
Masalah
1.
Mengetahui proses masuknya kebudayaan
dan agama Hindu Budha di Indonesia. ?
2.
Mengetahui Teori-Teori masuknya agama dan kebudayaan
islam di indonesia?
C.
Tujuan
Penulisan Makalah
1. Dapat
memahami perkembangan kebudayaan dan agama Hindu-Budha di Indonesia.
2. Dapat memahami peninggalan
dari kebudayaan Hindu Budha.
3. Dapat
memahami pengaruh akan masuknya kebudayaan dan agama Hindu-Budha di Indonesia.
4.
Dapat Mengetahui Teori-Teori masuknya agama dan kebudayaan islam di
indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
A.
KEBUDAYAAN
HINDU-BUDDHA DI INDONESIA
Perkembangan
Agama dan Kebudayaan Hindu-Buddha di Indonesia Tersebarnya pengaruh Hindu dan
Buddha di Indonesia menyebabkan terjadinya berbagai perubahan dalam kehidupan
masyarakat Indonesia. Perubahan-perubahan itu terlihat dengan jelas pada
kehidupan masyarakat Indonesia di berbagai daerah di Indonesia.
Fakta
tentang Proses Interaksi Masyarakat di Berbagai Daerah dengan Tradisi
Hindu-BuddhaMasuk dan berkembangnya pengaruh Hindu-Buddha di Indonesia
menimbulkan perpaduan budaya antara budaya Indonesia dengan budaya
Hindu-Buddha. Perpaduan dua budaya yang berbeda ini dapat disebut dengan
akulturasi, yaitu dua unsur kebudayaan bertemu dan dapat hidup berdampingan
serta saling mengisi dan tidak menghilangkan unsur-unsur asli dari kedua
kebudayaan tersebut.
Namun,
sebelum masuknya pengaruh kebudayaan Hindu-Buddha, masyarakat di wilayah
Indonesia telah memiliki kebudayaan yang cukup maju. Unsur-unsur kebudayaan
asli telah tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
Unsur-unsur kebudayaan Hindu-Buddha yang masuk ke Indonesia diterima dan diolah
serta disesuaikan dengan kondisi kehidupan masyarakat Indonesia, tanpa
menghilangkan unsur-unsur asli.
Oleh
karena itu, Kebudayaan Hindu-Buddha yang masuk ke Indonesia tidak diterima begitu
saja. Hal ini disebabkan :
a. Masyarakat di Indonesia telah memiliki
dasar-dasar kebudayaan yang cukup tinggi, sehingga masuknya kebudayaan asing
menambah perbendaharaan kebudayaan Indonesia.
b. Masyarakat di Indonesia memiliki kecakapan
istimewa yang disebut dengan local genius, yaitu kecakapan suatu bangsa untuk
menerima unsur-unsur kebudayaan asing dan mengolah unsur-unsur tersebut sesuai
dengan kepribadiannya.
Munculnya
pengaruh Hindu-Buddha (India) di Indonesia sangat besar dan dapat terlihat
melalui beberapa hal seperti :
a.
Seni Bangunan.
Seni Bangunan yang menjadi bukti berkembangnya pengaruh Hindu Buddha di
Indonesia pada bangunan Candi. Candi Hindu maupun Candi Buddha ditemukan di
Sumatera, Jawa, dan Bali pada dasarnya merupakan perwujudan akulturasi budaya
lokal dengan bangsa India. Pola dasar candi merupakan perkembangan dari zaman
prasejarah tradisi megalitikum, yaitu bangunan punden berundak yang mendapat
pengaruh Hindu-Buddha, sehingga menjadi wujud candi, seperti Candi Borobudur.
b.
Seni Rupa. Unsur seni rupa atau seni lukis India telah
masuk ke Indonesia. Hal ini terbukti dengan telah ditemukannya arca Buddha
berlanggam Gandara di kota Bangun, Kutai. Juga patung Buddha berlanggam
Amarawati ditemukan di Sikendeng (Sulawesi Selatan). Seni rupa India pada Candi
Borobudur ada pada relief-relief ceritera Sang Buddha Gautama. Relief pada
Candi Borobudur pada umumnya lebih menunjukkan suasanan alam Indonesia,
terlihat dengan adanya lukisan rumah panggung dan hiasan burung merpati. Di
samping itu, juga terdapat hiasan perahu bercadik. Lukisan-lukisan tersebut
merupakan lukisan asli Indonesia, karena lukisan seperti itu tidak pernah
ditemukan pada candi-candi yang ada di India. Juga relieef Candi Prambanan yang
memuat ceritera Ramayana.
c.
Seni Sastra.
Seni sastra India turut memberi corak dalam seni sastra Indonesia. Bahasa
sansekerta sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan sastra Indonesia.
Prasasti-prasasti awal menunjukkan pengaruh Hindu-Buddha di Indonesia, seperti
yang ditemukan di Kalimantan Timur, Sriwijaya, Jawa Barat, Jawa Tengah.
Prasasti itu ditulis dalam bahasa Sansekerta dan huruf Pallawa. Dalam
perkembangan bahasa Indonesia dewasa ini, pengaruh bahasa Sansekerta cukup
dominan terutama dalam istilah-istilah pemerintahan juga kitab-kitab kuno di
Indonesia banyak yang menggunakan bahasa Sansekerta. Contohnya adalah :
1. Arujunawiwaha,
karya Empu Kanwa pada zaman pemerintahannya Airlangga.
2. Bharatayudha, karya Empu Sedah dan Empu Panuluh
pada zaman kerajaan Kediri.
3. Gatutkacasraya, karya Empu Panuluh pada zaman
Kerajaan Kediri.
4. Arjunawijaya, kerya Empu tantular pada zaman
Kerajaan Majapahit.
5. Kalender. Diadopsinya sistem kalender atau
penanggalan India di Indonesia merupakan wujud dari akulturasi, yaitu dengan
penggunaaan tahun Saka. Di samping itu, juga ditemukan Candra Sangkala atau
kronogram dalam usaha memperingati peristiwa dengan tahun atau kalender Saka.
Candra Sangkala adalah angka huruf berupa susunan kalimat atau gambaran kata.
Bila berupa gambar harus dapat diartikan kedalam bentuk kalimat.
6. Kepercayan dan Filsafat. Sebelum masuknya
pengaruh Hindu-Buddha ke Indonesia.
bangsa Indonesia telah mengenal dan memiliki kepercayaan, yaitu pemujaan
terhadap roh nenek moyang. Kepercayaan itu bersifat animisme dan dinamisme.
Kemudian, masuknya pengaruh Hindu-Buddha ke Indonesia mengakibatkan terjadinya
akulturasi. Masuk dan berkembangnya pengaruh terutama terlihat dari segi
pemujaan terhadap roh nenek moyang dan pemujaan dewa-dewa alam.
7. Pemerintahan. Sebelum masuknya pengaruh
Hindu-Buddha, bangsa Indonesia mengenal sistem pemerintahan. Sistem
pemerintahan kepala suku berlangsung secara demokratis, yaitu salah seorang
kepala suku merupakan pemimpin yang dipilih dari kelompok sukunya, karena
memiliki kelebihan dari anggota kelompok suku lainnya. Akan tetapi, setelah
masuknya pengaruh Hindu-Buddhha, tata pemerintahan disesuaikan dengan sistem
kepala pemerintahan yang berkembang di India. Seorang kepala pemerintahan bukan
lagi seorang kepala suku, melainkan seorang raja, yang memerintahkan
kerajaannya secara turun-temurun. ( Bukan lagi ditentukan oleh kemampuan,
melainkan oleh keturunan).
Faktor-faktor
penyebab runtuhnya kerajaan bercorak Hindu-BuddhaPerkembangan pengaruh agama
dan kebudayaan Hindu-Buddha cukup besar, karena dapat memengaruhi seluruh
sektor kehidupan masyarakat Indonesia. Bahkan, tidak kurang dari seribu tahun
pengaruh Hindu-Buddha dominan berkembang dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
Hal ini dapat dibuktikan melalui perkembangan kerajaan Kutai hingga runtuhnya
kerajaan Majapahit.
Terdapat
beberapa hal yang menyebabkan runtuhnya kerajaan-kerajaan yang bercorak Hindu-Buddha
diwilayah Indonesia.
a.
Terdesaknya
kerajaan-kerajaan sebagai akibat munculnya kerajaan yang lebih besar dan lebih
kuat.
b.
Tidak ada peralihan
kepemimpinan atau kaderisasi, seperti yang terjadi pada mas kekuasaan Kerajaan
Majapahit.
c.
Berlangsungnya
perang saudara yang justru melemahkan kekuasaan kerajaan, seperti yang terjadi
pada kerajaan Syailendra dan Majapahit
d.
Banyak daerah
yang melepaskan diri akibat lemahnya pengawassan pemerintahan pusat dan
raja-raja bawahan membangun sebuah kerajaan yang merdeka serta tidak terikat
lagi oleh pemerintahan pusat
e.
Kemunduran
ekonomi dan perdagangan. Akibat kelemahan pemerintah pusat, masalah perekonomian
dan perdagangan diambil alih para pedagangn Melayu dan Islam
f.
Tersiarnya agama
dan budaya Islam, yang dengan mudah diterima para dipati di daerah pesisir. Hal
ini membuat mereka merasa tidak terikat lagi dengan pemerintahan kerajaan pusat
seperti pada kekuasaan kerajaan Majapahit.
Setelah kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha runtuh, seperti kerajaan Majapahit di daerah Jawa Timur dan kerajaan Pajajaran di derah Jawa Barat, bukan berarti tradisi Hindu-Buddha juga lenyap. Tradisi Hindu-Buddha masih terus bertahan sesuai dengan perkembangan zaman. Bahkan pada daerah-daerah yang telah mendapat pengaruh Islam, tradisi Hindu-Buddha tidak begitu saja menghilang. Misalnya pada masyarakat Jawa terdapat upacara membawa sesaji ke sawah atau upacara persembahan kepada penguasa Laut Selatan dan lain sebagainya.
Setelah kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha runtuh, seperti kerajaan Majapahit di daerah Jawa Timur dan kerajaan Pajajaran di derah Jawa Barat, bukan berarti tradisi Hindu-Buddha juga lenyap. Tradisi Hindu-Buddha masih terus bertahan sesuai dengan perkembangan zaman. Bahkan pada daerah-daerah yang telah mendapat pengaruh Islam, tradisi Hindu-Buddha tidak begitu saja menghilang. Misalnya pada masyarakat Jawa terdapat upacara membawa sesaji ke sawah atau upacara persembahan kepada penguasa Laut Selatan dan lain sebagainya.
Sementara
itu, tradisi Hindu-Buddha masih terus bertahan dalam kehidupan masyarakat Bali.
Setelah kerajaan Hindu Majapahit runtuh, banyak rakyat Majapahit yang pindah ke
pulau Bali dan melanjutkan tradisi kehidupannya disana. Dalam kehidupan
masyarakat Bali sering terdengar istilah Wong Majapahit atau sekelompok orang
yang berasal dari Majapahit. Masyarakat Hindu Bali yang termasuk keturunan
Majapahit memiliki tempat yang mayoritas. Sedangkan masyarakat Bali asli terdesak
ke daerah-daerah pegunungan seperti ke daerah Trunyan, Tenganan (di daerah Bali
bagian timur), Tigawasa, Sembiran (di daerah Bali Utara).
Bali juga
dapat disebut sebagai museum hidup kebudayaan Hindu di Indonesia. Agama Hindu
di Bali disebut dengan agama Hindu Dharma atau dengan Hindu dan Buddha. Roh
nenek moyang dipuja oleh anak cucunya setelah jenazah dibakar (ngaben). Tempat
pemujaannya dilakukan di Pura. Sementara itu, dewa-dewa dalam agama Hindu telah
dimanifestasikan sebagai Tuhan Yang Maha Esa dengan sebutan Sang Hyang Widhi.
Dalam penjelmaannya dapat disebut sebagai Dewa Brahma(pencipta), Dewa
Wisnu(pemelihara), dan Dewa Siwa(pelabur/perusak). Di samping itu juga dipuja
dewa-dewa yang telah disesuaikan dengan fungsi dan kedudukan dari dewa tersebut
seperti Dewi Sri(dewa padi), Dewa Agni(dewa api), Dewa Baruna(dewa laut), Dewa
Bayu(dewa angin), dan lain sebagainya.
Apabila
kita perhatikan, ternyata perkembangan pengaruh Hindu-Buddha di wilayah
Indonesia tidak meliputi seluruh masyarakat di kepulauan Indonesia. Bahkan dua
kerajaan nasional yang pernah membawa harum nama Indonesia sampai ke luar
wilayah Indonesia seperti Sriwijaya dan Majapahit, belum dapat mengembangkan
pengaruhnya ke seluruh wilayah Indonesia. Pengaruh kerajaan Sriwijaya terbatas pada
daerah-daerah di wilayah Indonesia bagian barat. Sedangkan kerajaan Majapahit
yang berhasil mempersatukan seluruh wilayah Nusantara, ternyata kekuasannya
hanya terbatas pada bidang politik yang dibuktikan dengan tunduknya mereka
kepada Majapahit. Tetapi Majapahit tidak mengembangkan pengaruh budaya dan
agama Hindu pada daerah-daerah yang dikuasainya. Sehingga ketika kerajaan
Majapahit runtuh, mereka terus mengembangkan pola hidup seperti pada masa
sebelum daerah tersebut dikuasai kerajaan Majapahit. Hal inilah yang
menyebabkan perkembangan tradisi Hindu-Buddha tidak merata di kepulauan
Indonesia. Daerah-daerah yang tidak mendapat pengaruh Hindu-Buddha di wilayah
Indonesia antara lain Sulawesi, Kepulauan Maluku, Papua, dan Kepulauan Nusa
Tenggara Timur.
Pengaruh Hindu Budha di
Indonesia
1. Pengaruh
di Bidang Bahasa.
Kini masih
sering ditemukan nama atau kata seperti pustaka, karya, guru, sastra, indra,
wijaya, ataupun semboyan-semboyan seperti Kartika Eka Paksi ataupun Jalesveva
Jayamahe. Kata-kata tersebut berasal dari bahasa Sanskerta. Penggunaan kata
dari bahasa tersebut merupakan bukti hingga kini pun pengaruh India masih
terasa di bumi Indonesia. Salah satu penyebabnya, budaya India merupakan budaya
asing pertama yang oleh moyang Indonesia dinilai progresif. Proses asimilasi
dan akulturasi budaya India durasinya paling lama di Indonesia. Hasil asimilasi
dan akulturasi tersebut lalu diakui sebagai bagian dari budaya Indonesia.
Jika bukti
tertulis yang hendak dikedepankan dalam masalah bahasa, maka prasasti Muara
Kaman, yang berlokasi di Kalimantan Timur, 150 kilometer ke arah hulu Sungai
Mahakam, dapat diambil selaku titik tolak tertua. Prasasti tersebut dicanangkan
tahun 400 Masehi. Hal yang menarik adalah, prasasti menyuratkan hadirnya dua
budaya berbeda: Asli Indonesia dan pengaruh India. Indikatornya adalah
nama-nama raja yang terpahat. Prasasti Muara Kaman menceritakan Raja Kudungga
punya putra bernama Açwawarman. Açwawarman punya tiga putra dan yang paling
sakti di antara ketiganya adalah Mulawarman. Nama Açwawarman dan Mulamarman
berasal dari bahasa Sanskerta, sementara Kudungga bukan. Kudungga kemungkinan
besar adalah nama yang berkembang di Kutai sebelum datangnya pengaruh India dan
agama Hindu.
Sanskerta
adalah bahasa yang dibawa oleh orang-orang India, sementara Pallawa adalah
huruf untuk menuliskannya. Secara genealogis, Sanskerta termasuk rumpun bahasa
Indo Eropa. Termasuk ke dalam rumpun ini bahasa Jerman, Armenia, Baltik,
Slavia, Roman, Celtic, Gaul, dan Indo Iranian. Di Asia, rumpun bahasa Indo
Iranian adalah yang terbesar, termasuk ke dalamnya bahasa Iranian dan Indo
Arya. Sanskerta ada di kelompok Indo Arya.
Mengenai
fungsinya, Sanskerta merupakan bahasa utama disiplin agama Hindu dan Buddha.
Dari sana, Sanskerta kemudian meluas penggunaannya selaku bahasa pergaulan dan
dagang di nusantara, sebelum digantikan Melayu. James T. Collins mencatat
signifikansi penggunaan bahasa Sanskerta di nusantara. Menurutnya, bauran
antara bahasa sanskerta dengan melayu (sebagai cikal-bakal bahasa Indonesia) sudah
berlangsung ratusan tahun. Ini terbukti sejak abad ke-7 para penganut agama
Buddha di Tiongkok sanggup berlayar hanya untuk mengunjungi pusat ilmu Buddha
di Sriwijaya (Sumatera Selatan).
Menurut
Collins, kunjungan ini akibat masyhurnya nusantara sebagai basis pelajaran
agama Buddha dan bahasa Sanskerta. I-Ching, seorang biksu Buddha dari Tiongkok,
bahkan menulis dua buku berbahasa Sanskerta di Palembang. Ia menasihati
pembacanya untuk terlebih dahulu singgah di Fo-shih (Palembang) untuk
mempelajari bahasa dan tata bahasa Sanskerta sebelum mereka melanjutkan ziarah
ke kota-kota suci Buddha di India.[4] I-Ching juga mengutarakan bahwa di
Palembang sendiri terdapat 1000 orang sarjana Buddha.
Posisi
Sriwijaya saat itu sebagai transit perdagangan penting di Selat Malaka
sekaligus basis pendidikan bahasa Sanskerta membuat pengaruh bahasa ini jadi
signifikan. Sanskerta terutama terdiseminasi lewat perdagangan. Seperti
diketahui, Sriwijaya adalah kerajaan yang basis ekonominya perdagangan. Dalam
perdagangan interaksi antarorang asing yang menggunakan bahasa berbeda sangat
tinggi. Situasi ini membutuhkan sebuah bahasa mediator antarorang dan Sanskerta
menjalankan perannya. Namun, lambat-laun bahasa Sanskerta menjadi eksklusif
karena berkelindan pula dengan gagasan kasta yang berkembang dalam agama Hindu.
Penggunaan Sanskerta lalu terbatasi hanya pada dua kasta pengguna, Brahmana dan
Ksatria.
Setelah
masuk Indonesia, bahasa Sanskerta dari India, tidak murni lagi. Di Jawa
misalnya, muncul bahasa hasil asimilasi Sanskerta dengan budaya lokal yang
dikenal dengan Kawi. Bahasa Kawi atau juga dikenal sebagai Jawa Kuna kemudian
menyebar ke pulau lain. Di Sumatera Barat bahasa ini berkembang lewat kekuasaan
raja-raja vassal Jawa semisal Adityawarman.
Pada kurun
ini pula, di nusantara dikenal penggunaan tiga bahasa dengan fungsi spesifik.
Pertama Jawa Kuna sebagai bahasa pergaulan sehari-hari. Kedua, Melayu Kuna
sebagai bahasa perdagangan di Sumatera dan Semenanjung Malaya. Ketiga,
Sanskerta sebagai bahasa keagamaan. Di era kebudayaan India jadi mainstream di
nusantara, Sanskerta merupakan kelompok bahasa elit yang hanya dipakai dalam
urusan keagamaan maupun formal pemerintahan. Akibatnya, tidak banyak orang yang
menguasai, terlebih kalangan wong alit.
Pengaruh
bahasa Sanskerta terhadap bahasa Melayu pun terjadi. Bahasa Melayu - pada
perkembangan kemudian – merupakan lingua-franca hubungan dagang antarpulau
nusantara menggantikan Sanskerta. Bahasa Melayu juga kelak menjadi dasar dari
kelahiran bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Sebab itu, dapat pula
dikatakan bahasa Sanskerta ini sedikit atau banyaknya punya pengaruh pula
terhadap bahasa Indonesia. Penelusuran pengaruh bahasa Sanskerta terhadap
Melayu dicontohkan prasasti Kedukan Bukit, Palembang.[5] Prasasti tersebut ditemukan
29 Nopember 1920 dan diperkirakan dibuat tahun 683 Masehi. Jejak lain
penggunaan bahasa Sanskerta juga ditemukan di Talang Tuwo, Palembang (684 M,
huruf Pallawa), prasasti Kota Kapur, Bangka (686 M, huruf Pallawa), prasasti
Karang Brahi, Meringin, Hulu Jambi (686 M, huruf Pallawa), prasasti Gandasuli,
Jawa Tengah (832 M, aksara Nagari), dan prasasti Keping Tembaga Laguna, dekat
Manila, Filipina.
Sebagian
bahasa Sanskerta diserap ke dalam Melayu. Kemungkinan ada 800 kosa kata bahasa
Melayu merupakan hasil penyerapan dari bahasa Sanskerta. Beberapa kosa kata
Sanskerta yang diserap ke dalam bahasa Melayu (juga Indonesia) antara lain
Pengaruh Sanskerta terhadap
Bahasa Melayu
Sanskerta Melayu Sanskerta
Melayu
dūta Duta, wakil akṣara Aksara (huruf)
rūpya Rupiah ākāśa Angkasa
(langit)
samudra Samudra smara Asmara
(cinta)
Selain
kata-kata yang sudah diserap di atas, ada pula kosa kata yang sudah digunakan
dalam prasasti-prasasti berbahasa Sanskerta sejak tahun 1303 M di wilayah
Trengganu (sekarang Malaysia). Kosa kata tersebut adalah: derma, acara, bumi,
keluarga, suami, raja, bicara, atau, denda, agama, merdeka, bendara, menteri,
isteri, ataupun seri paduka. Selain bahasa, huruf Pallawa yang digunakan untuk
menulis kosa kata Sanskerta pun turut menyumbangkan pengaruh para huruf-huruf yang berkembang di Indonesia seperti huruf
Bugis, Sunda, ataupun Jawi.
2. Pengaruh India di Bidang Arsitektur
Arsitektur
atau seni bangunan ala masa India juga bertahan hingga kini. Meski tampilannya
tidak lagi identik dengan bangunan Hindu-Buddha (candi) yang asli India, tetapi
pengaruh Hindu-Buddha tersebut membuat arsitektur bangunan yang ada di
Indonesia menjadi khas. Salah satu ciri bangunan Hindu-Buddha adalah berundak
tiga. Sejumlah undakan umumnya terdapat di struktur bangunan candi yang ada di
Indonesia. Undakan tersebut terlihat paling jelas di Candi Borobudur, bangunan
peninggalan Dinasti Syailendra yang beragama Buddha.
Ciri khas
arsitektur candi adalah adanya 3 bagian utama yaitu kepala, badan dan kaki.
Ketiga bagian ini melambangkan triloka atau tiga dunia, yaitu: bhurloka (dunia
manusia), bhuvarloka (dunia orang-orang yang tersucikan), dan svarloka (dunia
para dewa).
Struktur
Candi Pengaruh sistem tiga tahap kehidupan spiritual manusia bertahan cukup
lama. Bahkan ia banyak diadaptasi oleh bangunan-bangunan yang dibangun pada
masa yang lebih baru. Bangunan-bangunan yang memiliki ciri seperti ini beranjak
dari bangunan sakral (spiritual) semisal masjid maupun bangunan profan (biasa)
semisal Gedung Saté di Bandung.
Arsitektur
candi lalu mempengaruhi bangunan-bangunan lain yang lebih modern. Misalnya,
Masjid Kudus mempertahankan pola arsitektur bangunan Hindu. Masjid yang aslinya
bernama Al Aqsa, dibangun Jafar Shodiq (Sunan Kudus) tahun 1549 M. Hal yang
unik adalah, menara di sisi timur bangunan masjid menggunakan arsitektur candi
Hindu. Selain bentuk menara, sisa lain arsitektur Hindu terdapat pada gerbang
masjid yang menyerupai gapura sebuah pura. Juga tidak ketinggalan lokasi wudhu,
yang pancurannya dihiasi ornamen khas Hindu.
Terdapat
dua hipotesis yang menjelaskan mengapa Jafar Shodiq menyematkan arsitektur
Hindu ke dalam masjidnya.
a. Mengasumsikan
proyek pembangunan masjid hasil akulturasi budaya Hindu yang banyak
dipraktekkan masyarakat Kudus sebelumnya oleh Islam yang tengah berkembang. Ini
dimaksudkan agar tidak terjadi cultural shock yang mengakibatkan alienasi para
pemeluk Islam baru sebab tiba-tiba tercerabut budaya asal mereka.
b. Menyatakan
penempatan arsitektur Hindu akibat para arsitek dan tukang yang membangun
masjid hanya menguasai gaya bangunan Hindu. Hasilnya, bangunan yang kemudian
berdiri jadi bercorak Hindu.
Pengaruh
arsitektur Hindu pun terjadi pada bangunan yang lebih kontemporer semisal
Gedung Saté yang terletak di Kota Bandung. Gedung Saté didirikan tahun
1920-1924 dengan arsiteknya Ir. J. Gerber. Jika diamati lebih dekat, maka
bagian bawah dinding Gedung Saté memuat ornamen-ornamen khas Hindu. Termasuk
pula, menara yang terletak di puncak atas gedung yang mirip menara masjid Kudus
atau seperti tumpak yang ada di bangunan suci Hindu di daerah Bali. Tentu saja,
arsitektur Gedung Saté tidak semata mendasarkan diri pada arsitektur Hindu. Ia
merupakan perpaduan antara arsitektur Belanda dengan Lokal Indonesia.
Bangunan
modern lain yang memiliki nuansa arsitektur Hindu ditampakkan Masjid Demak.
Arsitektur Hindu pada masjid yang didirikan tahun 1466 M ini misalnya tampak
pada atap limas bersusun tiga, mirip candi, yang bermaknakan bhurloka,
bhuvarloka, dan svarloka. Namun, tiga makna tersebut diakulturasi kearah aqidah
Islam menjadi islam, iman, dan ihsan. Ciri lainnya bentuk atap yang mengecil
dengan kemiringan lebih tegak ketimbang atap di bawahnya. Atap tertinggi
berbentuk limasan ditambah hiasan mahkota pada puncaknya. Komposisi ini mirip
meru, bangunan tersuci di setiap pura Hindu.
3. Pengaruh India di Bidang
Kesusasteraan
Salah satu
peninggalan sastra India yang terkenal diantaranya Ramayana, Mahabarata, dan
kisah perang Baratayudha. Sastra India cukup berpengaruh atas budaya asli
Indonesia yaitu wayang. Wayang tadinya digunakan sebagai media pemberi nasihat
tetua adat terhadap keluarga yang salah satu kerabatnya meninggal dunia. Pada
perkembangannya, wayang digunakan sebagai basis pengajaran etika, agama, dan
budaya.
Tokoh-tokoh
India yang terkenal dalam wayang misalnya Pandawa Lima (Yudhistira, Bima,
Arjuna, Nakula-Sadewa), Kurawa (Duryudana dan keluarganya), Ramayana (Hanoman,
Rama, Sinta), ataupun kisah Bagavadgita (wejangan Sri Kresna atas Arjuna
sebelum perang). Local genius Indonesia mengimbangi dominasi tokoh-tokoh wayang
asal India dengan menciptakan punakawan. Selain Semar, tokoh-tokoh punakawan
Indonesia pun memainkan peran sentral dalam kesenian wayang. Tokoh-tokoh
seperti Petruk, Gareng, atapun Bagong berperan selaku pengimbang dalam sejumlah
lakon wayang Indonesia. Bahkan, para punakawan seringkali bertindak (secara
satir) sebagai penakluk sekaligus pemberi wejangan atas para tokoh asal
kesusasteraan India.
Dengan
varian tokoh Indianya, kini wayang diakui sebagai budaya asli Indonesia. Local
genius Indonesia memperkaya budaya aslinya (wayang) baik dengan tokoh
kesusasteraan India maupun tokoh racikan mereka sendiri. Di masa perkembangan
Islam, wayang juga digunakan Sunan Kalijaga untuk menyebarkan ajaran baru ini.
Lakon semisal Jamus Kalimasada, yang menceritakan kalimat syahadat dengan Semar
selaku tokoh yang memberikan pengajaran kepada Pandawa yang berasal dari India,
diciptakan. Cerita-cerita yang terkandung dalam kesusasteraan India memiliki
nilai moralitas tinggi. Ia menceritakan pertempuran antara kebaikan melawan
kejahatan, kelemahan-kelemahan manusia, dan bakti terhadap orang tua serta
Negara. Tradisi sastra India justru memperkaya khasanah cerita wayang lokal
Indonesia. Berkas peninggalan India Hindu paling jelas terlihat di Bali dan sebagian
masyarakat Tengger di Jawa Timur. Bali bahkan menjadi semacam daerah konservasi
pengaruh India yang pernah berkembang di kepulauan nusantara. Di Bali, seni
bangunan, seni ukir, seni rupa dan tari masih kental nuansa pengaruh peradaban
India, di samping tentunya budaya lokal Bali sendiri.
B. TEORI MASUKNYA AGAMA DAN KEBUDAYAAN ISLAM
DI INDONESIA
Proses
masuknya agama Islam ke Indonesia tidak berlangsung secara revolusioner, cepat,
dan tunggal, melainkan berevolusi, lambat-laun, dan sangat beragam. Menurut
para sejarawan, teori-teori tentang kedatangan Islam ke Indonesia dapat dibagi
menjadi:
a. Teori Mekah
Teori
Mekah mengatakan bahwa proses masuknya Islam ke Indonesia adalah langsung dari
Mekah atau Arab. Proses ini berlangsung pada abad pertama Hijriah atau abad
ke-7 M. Tokoh yang memperkenalkan teori ini adalah Haji Abdul Karim Amrullah
atau Hamka, salah seorang ulama sekaligus sastrawan Indonesia.
Hamka mengemukakan pendapatnya ini pada tahun 1958, saat orasi yang disampaikan
pada dies natalis Perguruan Tinggi Islam Negeri (PTIN) di Yogyakarta. Ia
menolak seluruh anggapan para sarjana Barat yang mengemukakan bahwa Islam
datang ke Indonesia tidak langsung dari Arab. Bahan argumentasi yang dijadikan
bahan rujukan HAMKA adalah sumber lokal Indonesia dan sumber Arab. Menurutnya,
motivasi awal kedatangan orang Arab tidak dilandasi oleh nilai nilai ekonomi,
melainkan didorong oleh motivasi spirit penyebaran agama Islam. Dalam pandangan
Hamka, jalur perdagangan antara Indonesia dengan Arab telah berlangsung jauh
sebelum tarikh masehi.
Dalam hal
ini, teori Hamka merupakan sanggahan terhadap Teori Gujarat yang banyak
kelemahan. Ia malah curiga terhadap prasangka-prasangka penulis orientalis
Barat yang cenderung memojokkan Islam di Indonesia. Penulis Barat, kata Hamka,
melakukan upaya yang sangat sistematik untuk menghilangkan keyakinan
negeri-negeri Melayu tentang hubungan rohani yang mesra antara mereka dengan
tanah Arab sebagai sumber utama Islam di Indonesia dalam menimba ilmu agama.
Dalam pandangan Hamka, orang-orang Islam di Indonesia mendapatkan Islam dari
orang-orang pertama (orang Arab), bukan dari hanya sekadar perdagangan.
Pandangan HAMKA ini hampir sama dengan Teori Sufi yang diungkapkan oleh A.H.
Johns yang mengatakan bahwa para musafirlah (kaum pengembara) yang
telah melakukan islamisasi awal di Indonesia. Kaum Sufi biasanya mengembara
dari satu tempat ke tempat lainnya untuk mendirikan kumpulan atau perguruan
tarekat.
b. Teori Gujarat
Teori
Gujarat mengatakan bahwa proses kedatangan Islam ke Indonesia berasal dari
Gujarat pada abad ke-7 H atau abad ke-13 M. Gujarat ini terletak di India
bagain barat, berdekaran dengan Laut Arab. Tokoh yang menyosialisasikan teori
ini kebanyakan adalah sarjana dari Belanda. Sarjana pertama yang mengemukakan
teori ini adalah J. Pijnapel dari Universitas Leiden pada abad
ke 19. Menurutnya, orang-orang Arab bermahzab Syafei telah bermukim di Gujarat
dan Malabar sejak awal Hijriyyah (abad ke 7 Masehi), namun yang menyebarkan
Islam ke Indonesia menurut Pijnapel bukanlah dari orang Arab langsung,
melainkan pedagang Gujarat yang telah memeluk Islam dan berdagang ke dunia
timur, termasuk Indonesia. Dalam perkembangan selanjutnya, teori Pijnapel ini
diamini dan disebarkan oleh seorang orientalis terkemuka Belanda, Snouck
Hurgronje. Menurutnya,
Islam telah lebih dulu berkembang di kota-kota pelabuhan Anak Benua India.
Orang-orang Gujarat telah lebih awal membuka hubungan dagang dengan Indonesia
dibanding dengan pedagang Arab. Dalam pandangan Hurgronje, kedatangan orang
Arab terjadi pada masa berikutnya. Orang-orang Arab yang datang ini kebanyakan
adalah keturunan Nabi Muhammad yang menggunakan gelar “sayid”
atau “syarif ” di di depan namanya.
Teori
Gujarat kemudian juga dikembangkan oleh J.P. Moquetta (1912)
yang memberikan argumentasi dengan batu nisan Sultan Malik Al-Saleh yang
wafat pada tanggal 17 Dzulhijjah 831 H/1297 M di Pasai, Aceh. Menurutnya, batu
nisan di Pasai dan makam Maulanan Malik Ibrahim yang wafat tahun 1419 di
Gresik, Jawa Timur, memiliki bentuk yang sama dengan nisan yang terdapat di
Kambay, Gujarat. Moquetta akhirnya berkesimpulan bahwa batu nisan tersebut
diimpor dari Gujarat, atau setidaknya dibuat oleh orang Gujarat atau orang
Indonesia yang telah belajar kaligrafi khas Gujarat. Alasan lainnya adalah
kesamaan mahzab Syafei yang di anut masyarakat muslim di Gujarat dan Indonesia.
c. Teori Persia
Teori
Persia mengatakan bahwa proses kedatangan Islam ke Indonesia berasal dari
daerah Persia atau Parsi (kini Iran). Pencetus dari teori ini adalah Hoesein
Djajadiningrat, sejarawan asal Banten. Dalam memberikan
argumentasinya, Hoesein lebih menitikberatkan analisisnya pada kesamaan budaya
dan tradisi yang berkembang antara masyarakat Parsi dan Indonesia. Tradisi
tersebut antara lain: tradisi merayakan 10 Muharram atau Asyuro sebagai hari
suci kaum Syiah atas kematian Husein bin Ali, cucu Nabi Muhammad, seperti yang
berkembang dalam tradisi tabut di Pariaman di Sumatera Barat. Istilah
“tabut” (keranda) diambil dari bahasa Arab yang ditranslasi melalui bahasa
Parsi. Tradisi lain adalah ajaran mistik yang banyak kesamaan, misalnya antara
ajaran Syekh Siti Jenar dari Jawa Tengah dengan ajaran sufi
Al-Hallaj dari Persia. Bukan kebetulan, keduanya mati dihukum oleh penguasa
setempat karena ajaran-ajarannya dinilai bertentangan dengan ketauhidan Islam
(murtad) dan membahayakan stabilitas politik dan sosial. Alasan lain yang
dikemukakan Hoesein yang sejalan dengan teori Moquetta, yaitu ada kesamaan seni
kaligrafi pahat pada batu-batu nisan yang dipakai di kuburan Islam awal di
Indonesia. Kesamaan lain adalah bahwa umat Islam Indonesia menganut mahzab
Syafei, sama seperti kebanyak muslim di Iran.
d. Teori Cina
Teori
Cina mengatakan bahwa proses kedatangan Islam ke Indonesia (khususnya di Jawa)
berasal dari para perantau Cina. Orang Cina telah berhubungan dengan masyarakat
Indonesia jauh sebelum Islam dikenal di Indonesia. Pada masa Hindu-Buddha,
etnis Cina atau Tiongkok telah berbaur dengan penduduk Indonesia terutama
melalui kontak dagang. Bahkan, ajaran Islam telah sampai di Cina pada abad ke-7
M, masa di mana agama ini baru berkembang. Sumanto Al Qurtuby dalam
bukunya Arus Cina-Islam-Jawa menyatakan, menurut kronik masa Dinasti
Tang (618-960) di daerah Kanton, Zhang-zhao, Quanzhou, dam pesisir Cina bagian
selatan, telah terdapat sejumlah pemukiman Islam.
Teori
Cina ini bila dilihat dari beberapa sumber luar negeri (kronik) maupun lokal
(babad dan hikayat), dapat diterima. Bahkan menurut sejumlah sumber lokat
tersebut ditulis bahwa raja Islam pertama di Jawa, yakni Raden Patah dari
Bintoro Demak, merupakan keturunan Cina. Ibunya disebutkan berasal dari Campa,
Cina bagian selatan (sekarang termasuk Vietnam). Berdasarkan Sajarah Banten dan
Hikayat Hasanuddin, nama dan gelar raja-raja Demak beserta leluhurnya ditulis
dengan menggunakan istilah Cina, seperti “Cek
Ko Po”, “Jin Bun”, “Cek Ban Nama-nama seperti “Munggul” dan “Moechoel” ditafsirkan merupakan kata
lain dari Mongol, sebuah wilayah di utara Cina yang berbatasan dengan Rusia.
Bukti-bukti
lainnya adalah masjid-masjid tua yang bernilai arsitektur Tiongkok yang
didirikan oleh komunitas Cina di berbagai tempat, terutama di Pulau Jawa.
Pelabuhan penting sepanjang pada abad ke-15 seperti Gresik, misalnya, menurut
catatan-catatan Cina, diduduki pertama-tama oleh para pelaut dan pedagang Cina.
Semua teori di atas masing-masing memiliki kelemahan dan kelebihan tersendiri.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pendapat mengenai proses masuk dan
berkembangnya kebudayaan Hindu-Budha di Indonesia, yaitu hipotesis Waisya,
Hipotesis Ksatria, Hipotesis Brahmana dan teori Arus Balik. Masuk dan
berkembangnya agama dan kebudayaan Hindu-Budha membawa pengaruh besar di
berbagai bidang. Kerajaan-kerajaan yang bercorak Hindu-Budha merupakan salah
satu bukti adanya pengaruh kebudayaan Hindu-Budha di Indonesia. Setiap kerajaan
dipimpin oleh seorang raja yang memiliki kekuasaan mutlak dan turun-temurun.
Kerajaan-kerajaan itu antara lain : Kerajaan Kutai, Kerajaan Tarumanegara,
Kerajaan Sriwijaya, Mataram Kuno, Kerajaan Singhasari, Kerajaan Majapahit.
Masuknya kebudayaan India ke Indonesia telah membawa pengaruh terhadap
perkembangan kebudayaaan di Indonesia. Namun kebudayaan asli Indonesia tidak
begitu luntur. Kebudayaan yang datang dari India mengalami proses penyesuaian
dengan kebudayaan, maka terjadilah proses akulturasi kebudayaan.
B. Saran
Kebudayaan yang berkembang di Indoneisa pada
tahap awal diyakini berasal dari India. Pengaruh itu diduga mulai masuk pada
awal abad masehi. Apabila kita membandingkan peninggalan sejarah yang ada di
Indonesia akan ditemukan kemiripan itu. Sebelum kenal dengan kebudayaan India,
bangunan yang kita miliki masih sangat sederhana. Saat itu belum dikenal
arsitektur bangunan seperti candi atau keraton. Tata kota di pusat kerajaan
juga dipengaruhi kebudayaan hindu. Demikian pula dalam hal kebudayaan yang lain
seperti peribadatan dan kesastraan.Kita harus menjaga kelestarian dan
budaya-budaya yang ditinggalkan agama Hindu-Budha.
DAFTAR PUSTAKA
Nasrudin Muh,
Warsito S.W, Nursa’ban Muh, (2008) , Jakarta : Pusat Perbukuan Departemen
Pendidikan Nasional, Mari Belajar. Wawasan Sosial
Iwan Setiawan dkk, (2008), Jakarta :
Pusat Perbukuan Departemen Wawasan Sosial.
0 komentar:
Posting Komentar